Obama supports this closeness, stating that that the United States would never distance itself from Israel.
-Barrack Obama
Histeria.
Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan Barrack Obama di arus utama politik Amerika saat ini. Konvensi partai Demokrat di Denver beberapa waktu lalu menjadi saksi saat untuk pertama kalinya seorang afro-amerika resmi menjadi seorang kandidat presiden AS.
Jika menilik sejarah Amerika yang memiliki beberapa sisi kelam tentang hubungan ras,majunya Obama bisa dilihat sebagai salah satu pencapaian terbaik hubungan antar-ras di negeri itu. Masyarakat kulit hitam Amerika tentu tak bisa melupakan sejarah kelam mereka di perang sipil utara-selatan pada pertengahan abad 19, diskriminasi yang terus berlanjut bahkan setelah amandemen 14 dan 15 Konstitusi Amerika Serikat memberi kesetaraan secara yuridis kepada mereka. Secara praktis diskriminasi terus berlanjut bahkan hingga era Malcolm x dan Martin Luther King.
Selain faktor afro-amerika tadi, setidaknya ada beberepa hal yang membuat pencalonan Obama lebih gegap gempita. Proses pra-konvensi misalnya, menjadi magnet tersendiri bagi khalayak dunia. Persaingan ketat Obama-Hillary dalam serangkaian kaukus dan primary dengan perbedaan suara yang relatif kecil membuat lebih banyak mata mengarah kepada mereka ketimbang McCain yang cenderung melengang sendirian tanpa perlawanan.
Usia Obama juga masih relatif muda. Terlebih lagi, Obama sepertinya membawa banyak harapan baru bagi Amerika yang saat ini dinilai banyak kalangan tengah “salah arah”. Kebijakan luar negeri Amerika beberapa tahun terakhir ini memang sangat ofensif. Belum selesai dengan Afghanistan, mereka menyerang Irak, yang hingga kini menghasilkan perang berlarut-larut dan seolah takkan berkesudahan, dengan efek yang mengerikan bagi jutaan warga sipil dan tentara Amerika di lapangan. Anggaran perang naik berlipat-lipat padahal di sisi lain ekonomi negara itu tengah dilanda beberapa kesulitan. Jumlah pengangguran meningkat, sementara efek negatif krisis kredit perumahan subprime mortgage belum sepenuhnya mereda.
Maka, Obama dengan slogan perubahan nya seolah menjadi oase di tengah kehausan rakyat Amerika sekarang yang menginginkan pembaharuan.
Pertanyaannya: benarkah Obama membawa sesuatu yang baru?
Mari kita lihat dari kebijakan luar negerinya. Satu sisi: ya, Obama menjanjikan suatu perubahan. Kita bisa melihat dari visinya tentang perang Irak: “So when I am Commander-in-Chief, I will set a new goal on day one: I will end this war” (barackobama.com).
Perang Irak memang sesuatu yang mengerikan bagi kemanusiaan, dengan alasan senjata pemusnah missal yang nyata-nyata tak terbukti, pelanggaran kedaulatan negara secara terang-terangan, hingga korban jiwa baik fisik maupun psikis yang sangat luas. Bahkan jika kita membaca beberapa media yang melakukan investigasi tentang perang ini, ada sesuatu yang lebih kotor bermain di sini: kepentingan akan minyak: bahkan bisnis-bisnis yang mendapat keuntungan besar dari perang (kontraktor besar untuk proyek pembangunan pasca-perang, satuan pengamanan swasta yang mendapat rejeki untuk mengamankan tamu-tamu VVIP yang dating ke sana, dll). Pendeknya, langkah (baca: janji) Obama untuk menghentikan perang merupakan sesuatu yang layak diapresiasi.
Namun di sisi lain, Obama tetaplah berada di jalur “tradisi” yang sama dengan para calon presiden Amerika sebelumnya terkait satu isu: Israel. Mari kita lihat visinya: Barack Obama strongly supports the U.S.-Israel relationship, believes that our first and incontrovertible commitment in the Middle East must be to the security of Israel, America's strongest ally in the Middle East. (barackobama.com).
Selain itu, Obama juga mendukung “hak Israel untuk mempertahankan diri sendiri” sebuah istilah yang merupakan penghalusan dari politik agresif Israel terhadap Libanon. Obama juga akan menyediakan anggaran bantuan untuk Israel. Aneh? Tentu saja tidak mengingat di belakang Obama (seperti juga di belakang calon-calon presiden AS sebelumnya) ada AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), kelompok lobi Israel yang gencar memberi dana bagi para calon presiden Amerika Serikat. Lihat pidato obama di AIPAC policy forum (http://www.barackobama.com/2007/03/02/aipac_policy_forum.php) yang jelas-jelas memfokuskan diri bagi keselamatan Israel dan bisa dikatakan “mengabaikan” penderitaan rakyat Palestina yang berada di bawah agresi Israel. Bahkan Obama menganggap blokade dan isolasi terhadap rakyat palestina di jalur Gaza yang membawa banyak penderitaan dan kesengsaraan sebagai sesuatu yang wajar demi melindungi keselamatan Israel.
Obama merupakan sebuah fenomena, tetapi melihat siapa yang berada di belakangnya, sepertinya kita tak bisa berharap terlalu banyak.
ridwan ibadurrahman